Selasa, 17 Januari 2012

Metode dan Paradigma Bayani


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Semasa Rasulullah masih hidup, pergolakan dan dinamika pemikiran para sahabat dan umat Islam pada waktu itu tidak menjadi persoalan yang membawa pada polemik. Peta pemikiran yang berkembang cenderung damai tanpa ada perbedaan-perbedaan ekstrem di antara mereka. Sehingga mereka tetap berada pada garis lurus yang dilalui dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Cara pandang yang berlaku pun, mengikuti petunjuk langsung dari beliau.
Akan tetapi, selang beberapa abad setelah nabi wafat, perbedaan-perbedaan pandangan tentang Islam itu sendiri mengalami peningkatan yang sangat tajam. Konsekuensinya, muncul berbagai macam aliran pemikiran dalam Islam yang didasarkan pada paradigma yang digunakan oleh masing-masing kelompok tersebut. Hal itu wajar terjadi mengingat kondisi mereka (umat Islam pasca wafatnya nabi) tidak lagi berada pada koridor tetap sebagaimana yang dialami sahabat.
Dalam perkembangan selanjutnya, cara pandang yang demikian melahirkan konsepsi baru dalam upaya sistematisasi pemikiran yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits-hadits nabi secara murni. Sebab, baik Al-Qur’an maupun hadits memiliki kandungan ilmu yang masih global dan butuh interpretasi-interpretasi agar mampu menjawab persoalan umat yang semakin kompleks. Semua itu terangkum dalam syari’at Islam.
Syari’at merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai esensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’at ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interaksi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjustifikasi pluralitas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “language games yang berbeda.[1]
Ulama-ulama Islam tampil sebagai waratsatul anbiyaa’ (pewaris para nabi) yang mencoba menemukan pijakan utuh dalam menginterpretasikan serta menggali hukum Islam secara gamblang melalui ijtihad yang dilakukannya. Rumusan-rumusan kerangka ilmu atau epistemologi mulai disusun dalam rangka memberikan pijakan original, terutama setelah bersentuhan dengan filsafat Yunani. Ushul Fiqh merupakan salah satu upaya tersebut yang dilakukan ulama sekitar abad ke-3 hijriah.
Dalam epistemologi Islam telah lahir metode yang sering digunakan dalam berparadigma, yaitu metode bayani, ‘irfani dan burhani. Di sini, penulis akan memfokuskan pada metode bayani saja disertai dengan implementasi penggunaan qiyas dan cara kerja ilmu-ilmu agama.

B.     Paradigma
Sebelum beranjak ke BAB II atau sebelum membahas metode dan paradigma bayani, terlebih dahulu kita uraikan apa itu paradigma. Dalam setiap pembicaraan, paradigma selalu digunakan dan disebut-sebut oleh banyak kalangan. Dengan enteng, kebanyakan memaknai paradigma sama dengan kerangka berpikir. Memang term tersebut ada di daftar kata dalam Kamus Ilmiah Populer. Tetapi dalam batas-batas tertentu, makna tersebut tidak cukup mewakili terhadap penggunaannya dalam epistemologi. Maka, kita pun perlu mengetahui lebih dalam lagi makna substansial dari paradigma itu sendiri.
Istilah ”paradigma” secara harfiah dapat berarti general pattern atau model (Oxford Advanced Learner’s Dictionaries). Paradigma juga dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan pola dari suatu teori yang dianggap benar dan baku. Teori yang dianggap benar dan baku dapat dijadikan asumsi atau proposisi sehingga dapat dijadikan pijakan kegiatan ilmiah. Berangkat dari konsep tentang paradigma[2] ini lantas melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view (pandangan dunia), frame work (kerangka kerja), logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.
Ilmu sosial menurut Antony Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang berbeda pula. Ketika paradigma tertentu tidak dapat lagi dijadikan pegangan atau tidak lagi mampu menjawab persoalan hidup yang terus berkembang semakin kompleks dan kualitatif, maka paradigma lama akan mengalami anomaly dan kemudian terjadi krisis, dimana paradigma dan nilai-nilai lama tidak lagi dapat dijadikan pegangan sementara nilai-nilai baru belum terbentuk. Akan tetapi masyarakat manusia adalah makhluk yang tidak mau hidup dalam kekacauan (krisis dan chaos). Karena itu segera dibangun paradigma baru.
Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah senantiasa didasarkan pada paradigma tertentu sebagai landasan suatu teori dan metode. Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian (research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada. Apabila paradigma lama dianggap tidak lagi relevan dan bahkan menimbulkan krisis, diperlukan paradigma baru. Thomas S. Kuhn dalam The Structur of Scientific Revolution (1996) mengolaborasi bagaimana perubahan dari paradigma lama yang mapan kemudian mengalami anomaly, krisis, revolusi dan kemudian muncul paradigma baru.[3]
Di dunia Islam pun kurang lebih sama seperti di atas. Paradigma digunakan sebagai pisau analisis menginterpretasikan ilmu-ilmu yang berasal dari Tuhan (baca: ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an). Dengan demikian, telah jelas bagaimana latar belakang munculnya, paradigma seperti bayani, ‘irfani dan sebagainya. Hal itu semata-mata mempertegas ajaran yang dibawa oleh nabi yang bersumber pada wahyu dan hadits-hadits nabi sendiri.
Sebab, tidak mungkin Islam bisa utuh tanpa adanya pergolakan pemikiran yang menimbulkan perbedaan. Perbedaan datang bukan untuk disesali atau bahkan diingkari. Tetapi sebagai jalan menuju heterogenitas yang plural dalam bingkai etika Islam. Karena perbedaan adalah rahmatan lil ‘alamin yang patut disyukuri bersama.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Paradigma Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.[4]
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk: a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam suatu lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna dzahir dari lafadz dan 'ibarah yang dzahir pula; dan b) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks.[5] Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun). Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu empirik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna atau para pencari keadilan.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan: 1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya ilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Adapun karakteristik dari epistemologi bayani antara lain, pertama, epistemologi ini selalu berpijak pada asal (pokok) yang berupa nash (teks), baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ilmu ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Sedangkan dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggungjwabkan isinya. Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah (naql). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar (dalam hal ini berupa nas atau teks).
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal itu ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.[6]
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada nalar bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik.

B.     Qiyas
Secara bahasa qiyas  berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya yang  berarti “saya mengukur baju dengan hasta. Pengertian qiyas  secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.[7]
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi mengemukakan bahwa qiyas  adalah “Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”. Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas  dengan “Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.” Dr. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas  dengan “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas  bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90–91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
·      Ashl
·      Far’u
·      Illat
·      Hukum ashl
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas  dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas  bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1.     Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2.     Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas  sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama-ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas  sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”. Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an  dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas  merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman: “Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas  dilarang untuk diamalkan. Alasan-alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan. Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah : Surat al-Hasyr, 59 : 2 “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang- orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas  yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya.
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas  adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya Surat al-Baqarah 2 : 222 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”. Surat al-Maidah 5 : 91 “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). Surat al-Maidah 5:6.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu …”.
Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :  “Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar: “Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (HR. Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab). Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur, yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.

C.    Cara Kerja
Di dalam Al-Qur’an maupun hadits, banyak disebutkan bahwa pengetahuan (ilm) Allah mencakup segala sesuatu. Mulai dari yang paling besar hingga yang paling kecil sekalipun; mulai dari sedikit hingga dalam jumlah tak terbatas; mulai yang tampak oleh mata manusia maupun yang tidak kasat mata. Semuanya, tanpa kecuali diketahui oleh Allah. Maka, dalam konteks kemanusiaan, segala apa yang telah atau akan dilakukan, Allah terlebih dahulu mengetahuinya.
            Artinya, mustahil terdapat sesuatu yang lepas dari pengetahuan Allah. Ini menunjukkan bahwa ilmu Allah benar-benar Mahaluas. Akan tetapi, kita dihadapkan pada persoalan baru tentang pengetahuan Tuhan yang seolah-olah bertentangan dengan keterangan di Al-Qur’an.  Dalam Surah Al-Maidah ayat 94 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu[8] supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Demikian pula dengan tujuan pemindahan arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram: “Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
            Adanya kejadian yang menjadi “perantara” pengetahuan Allah sebagaimana yang terkandung pada ayat di atas, menunjukkan bahwa seolah-olah Allah membutuhkan media sebagai alat memperoleh pengetahuannya. Tetapi jika dipahami demikian sangatlah bertentangan dengan kaidah di awal bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu tanpa terikat oleh sesuatu apa pun. Sehingga paradigma bayani berperan di sini.
            Kita seharusnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lina’lama (agar Kami mengetahui) pada kedua ayat tersebut adalah pengertian kiasan (majaz) dan tidak harfiah.[9] Oleh sebab itu, tidak mesti sesuatu yang tersurat dalam Al-Qur’an menunjukkan sesuatu yang tersirat. Walaupun ada yang memang demikian adanya. Namun hal itu tidak bisa digeneralisir. Maka, paradigma bayani cukup penting dalam menyelesaikan persoalan demikian. Apabila kita menemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah mensyari’atkan suatu ketentuan dengan tujuan agar Dia mengetahui sikap manusia terhadap syari’at tersebut, maka yang dimaksud dengan pengetahuan Allah dalam konteks itu bukanlah untuk mengetahui reaksi yang ditimbulkan manusia terhadap ketentuan itu sendiri, tetapi untuk membuktikan bahwa ilmu Allah benar-benar sesuai dengan kenyataan.
            Tentu tidak sebatas itu yang dapat dijadikan contoh dalam Al-Qur’an, masih banyak ayat-ayat yang mengandung kiasan dan butuh interpretasi sesuai dengan makna yang sebenarnya. Tidak mungkin kami sebutkan satu persatu, karena hal itu membutuhkan waktu lama dan pembahasan panjang. Tidak cukup hanya sekadar lewat makalah.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Paradigma bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas teks atau nash, baik secara langsung maupun sebaliknya. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan langsung dan mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran lebih lanjut. Secara tidak langsung berarti, memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga butuh pada penalaran dan penafsiran.
Jadi, sumber bayani adalah teks atau nash (Al-Qur’an dan Hadits). Paradigma bayani inilah yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu semisal ushul fiqh, balaghah dan sebagainya. Fokus perhatiannya lebih kepada pemahaman teks secara komprehensif.
Dalam pada itu, metode qiyas menjadi salah satu kunci penting yang dapat mengantarkan pada kesesuaian hasil kerja epistemologi bayani terhadap teks yang diwahyukan Tuhan. Metode qiyas digunakan ulama-ulama ushul fiqh untuk menggali hukum dalam Al-Qur’an. Qiyas berarti membandingkan sesuatu terhadap sesuatu yang lain karena ada persamaan-persamaan yang kemudian dapat menghasilkan hukum baru. Ada 4 syarat yang harus dipenuhi dalam qiyas, yaitu al-ashlu, al-far’u, ‘illat dan al-hukmu al-ashli.



 
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih dan Dampaknya Pada Fikih Kontemporer”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
Ainurrafiq, “Menawarkan Epistemologi Jama’i Sebagai Epistemologi Ushul Fiqh”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
Ash-Shiddiqy, Hasbi. Pokok- Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997).
Assyaukanie, A. Lutfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” dalam jurnal Paramadina, Vol. 1, No.1, Juli-Desember, 1998.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997).
Mahmasani, Subhi. Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1981).
‘Abid al-Jabiri, Muhammad. Bunyah al-’Aql al-’Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-’Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-’Arabiyyah, 1990), hlm. 514. lihat juga al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta:LKiS, 2000).
S. Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolutions, (London: The University of Chicago Press. Ltd, 1970).


[1] Istilah “language games”  pertama kali digunakan Ludwig Wittggenstein (1889 M – 1951 M) dalam bukunya “Philosophical Investigation” untuk menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa macam fungsi sesuai konteks (meaning is context). Language games ini mempunyai aturan sendiri sesuai dengan konteksnya sehingga kata yang sama bila digunakan dalam language games yang berbeda pasti mempunyai arti yang berbeda. Budhi Munawar rachman, Ilmu Hudluri : “Mengelak” dari Mistik ? dalam Ulumul Qur’an (no. 1, vol. Vi th. 1995), hlm. 62. Lihat juga Rizal Muntasyir, Filsafat Analitik , Sejarah, Perkembangan dan Peranan para Tokohnya, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 83 – 86. Teori language games  ini juga berlaku bagi aneka bentuk kehidupan (form of life), termasuk kehidupan umat Islam dalam mempraktekkan Syari’ah.
[2] Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (London: The University of Chicago Press. Ltd, 1970).
[3] Ibid,.
[4] Secara umum al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani, membagi epistemologi Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani, irfani, dan burhani. Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks. Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa dirasionalkan, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini disebut epistemologi falsafah karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani.
[5] Khaled Abou el-Fadl sendiri mengungkapkan bahwa " Islam mendefenisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk kepada suatu teks…karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh karena itu peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shari'ah (hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini, tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam". Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan "Tentara Tuhan"; yang berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 54.
[6] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-’Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-’Arabiyyah, 1990), hlm. 514. lihat juga al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta:LKiS, 2000), hlm. 118-132 dan 162-171.
[7] Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok- Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.

[8] Allah menguji kaum muslimin yang sedang mengerjakan ihram dengan melepaskan binatang-binatang buruan, hingga mudah ditangkap.
[9] Meskipun ada pengertian beberapa majaz yang dapat dilekatkan kepada ayat-ayat sebagaimana yang dicontohkan di atas, namun pengertian yang paling dekat dengan pengertian substansialnya adalah Allah hendak membuktikan kepada hamba-hamba-Nya bahwa ilmu-Nya dapat dibuktikan secara realistis. Lih. Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997). Hal. 224.

0 komentar:

Posting Komentar