Sabtu, 03 November 2012

Lestarikan “Telingaku”!


“Kalau dulu banyak mas yang pake kayak gitu (telinga panjang), kalo sekarang udah jarang. Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa orang, itu pun mayoritas udah berumur diatas 50 tahun.” Jawab Afif ketika ditanya tentang salah satu tradisi suku dayak di Kalimantan Timur.
Memanjangkan Telinga, adalah termasuk dalam salah satu kekayaan budaya atau tradisi yang dimiliki Indonesia dan patut untuk dijaga kelestariannya. Tradisi ini, banyak dipraktekkan di daerah Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak. Untuk kaum laki-laki, panjang daun telinga adalah sebahu sedangkan untuk perempuan adalah di atas buah dada.
Proses pemanjangan daun telinga dimulai sejak balita dengan memberikan anting-anting yang ukurannya menyesuaikan dengan usia balita. “Biasanya mas, kalo umurnya masih satu tahun, itu dikasi anting yang kecil dan kalo dianggap sudah cukup untuk diganti dengan anting yang ukurannya lebih besar, baru diganti.” Afif menjelaskan.
Pemanjangan telinga ini bertujuan untuk menunjukan identitas diri dari suku Dayak. Bahkan di kalangan tertentu, ada beberapa model anting yang dipasang untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok lebih tinggi kasta nya daripada kelompok yang lain.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi memanjangkan telinga ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak. Karena terpaan budaya dan modernisasi dari berbagai penjuru. Akibatnya, jika masyarakat suku Dayak bertemu dengan masyarakat dari suku atau daerah lain, dia (suku Dayak) merasa risih, karena respon atas kehadirannya tidak sama dengan respon terhadap suku/warga lain - seakan-akan suku Dayak berbeda dengan yang lain. akibatnya, timbul tekanan psikologis tersendiri bagi suku Dayak tersebut.
“Kalau di sekitar tempat saya bisa dibilang sudah gak ada yang kayak gitu lagi, mas. Dulu, anak-anak seumuran saya hampir gak ada yang dipanjangkan telinganya. Mungkin para orang tuanya takut jika anaknya diolok-olok saat bertemu dengan orang lain yang beda suku.” Afif menambahkan.
Tradisi memanjangkan telinga bukan satu-satunya tradisi yang hampir ditinggalkan di Indonesia. Hal ini disebabkan terpaan budaya barat melalui media yang tidak seimbang sehingga mengakibatkan timbulnya perasaan untuk meniru budaya-budaya barat itu. Maka, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya anggapan bahwa budaya dan tradisi kita adalah sesuatu yang sudah kuno dan bukan jamannya untuk tetap dipertahankan.
Jika sudah begini keadaannya, apa yang akan kita (generasi muda) lakukan? [hydra-zone]

Per-Empu-an Minang

Memotret kesukuan di Indonesia, tak lengkap rasanya tanpa melirik adat Minang. Tak seperti kebanyakan suku di daerah lainnya, Minang memiliki adat yang cukup unik. Jika di daerah lain trah laki-laki begitu gagah dan menempati posisi tinggi dalam sistem kekeluargaan, di Minang, tidak. Sebaliknya, garis keturunan perempuanlah yang dianggap “emas”. Kita tak perlu jauh-jauh kembali ke zaman prasejarah untuk menemukan tradisi matrilineal, karena hingga hari ini, di Minang tradisi Matrilinealisme masih berlangsung elok.
Alam, seorang mahasiswa jurusan Hukum Universitas Gadjah Mada, asal Suku Tanjung mengatakan bahwa tradisi Matrilineal sudah ada sejak zaman dahulu, sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Menurutnya, tradisi matrilineal dimaksudkan untuk menjaga harta atau warisan yang sudah diturunkan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun agar mampu dijaga dengan baik dan tidak beralih ke tangan orang lain yang tidak berasal dari keluarga keturunannya(baca: keturunan nenek moyang). Dalam hal ini, perempuanlah yang dianggap mampu menjaga warisan tersebut.
Alam mencontohkan dirinya, dalam keluarganya yang berkecukupan, Alam (dalam berperilaku dan bergaul ) tidak begitu menampakkan bahwa dirinya adalah orang yang berkecukupan. Alam tidak begitu menggantungkan hidupnya kepada harta yang dimiliki keluarganya di rumah. Karena Alam paham, bahwa harta yang dimiliki oleh keluarganya di rumah, nantinya akan dikelola oleh adik perempuan Alam. Dan Alam tidak akan “mengusik” harta itu. Tindakan Alam ini, bukan karena tradisi matrilineal saja, melainkan karena di Suku Minang, Seorang laki-laki akan lebih “berharga dan berwibawa” jika dia telah merantau (Melanjutkan pendidikan, berdagang dll). Dalam arti lainnya, “kewibawaan” seseorang tidak akan diukur dari seberapa banyak harta yang dimilikinya, apa pekerjaannya, atau apa jabatannya. Melainkan, seberapa tinggikah ilmunya dan seberapa luaskah pengalamannya. 

Tradisi matrilineal, hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat minang. Meskipun mayoritas pemuda-pemudinya banyak yang sudah merantau dan banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru, mereka (baca: pemuda-pemudi) belum punya niatan untuk merubah tradisi matrilineal tersebut. Karena selama ini mereka masih yakin bahwa memang perempuanlah yang mampu menjaga warisan dan pesan nenek moyang tersebut. [hydra-zone]

Beliau Tidak Seperti Kacang yang Lupa Sama Kulitnya

Menjadi seorang bupati adalah suatu profesi yang banyak diminati dan menjanjikan di “mata” kita. Di sisi lain, profesi Bupati ini, di kalangan masyarakat tertentu – terutama masyarakat desa - dianggap sebagai sebuah pencapaian yang lumayan baik. Lain halnya dengan Bupati Kabupaten Musi Rawas, yang juga Alumni Universitas Islam Indonesia dan alumni Asrama Komunitas Musi Rawas yang saat ini dipercayai untuk menjadi Bupati di kabupaten Musi Rawas, tidak menjadikan jabatan yang sudah diraihnya sebagai sebuah pencapaian yang nantinya akan mengangkat namanya di mata masyarakat.
Ridwan Mukti, pria kelahiran Lubuklinggau 21 Mei 1963 ini adalah mantan anggota DPR RI (Dua periode) dan Fungsionaris partai Golkar ini adalah sosok yang selama ini dijadikan contoh oleh sahabat-sahabat anggota Komunitas Musi Rawas di Yogyakarta.
“Selama beberapa tahun terakhir kita selalu menjadikan Beliau sebagai panutan dalam berorganisasi. Beliau tidak seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Karena menurut saya diantara kelebihan-kelebihannya adalah dia berani kembali ke daerah saya (Musi Rawas) meskipun sebenarnya dia sudah sejahtera di Jakarta.” Ujar Libra selaku Ketua Asrama Komunitas Musi Rawas, saat ditemui di Jl. Tamansiswa No. 868.
Sebelumnya, Ridwan Mukti menjadi Anggota DPR RI selama dua periode kemudian menjabat Bupati di Musi Rawas selama dua periode pula, periode pertama 2005-2010 dan periode kedua 2010-2015.
Ridwan Mukti, tidak hanya terjun ke daerahnya dan melupakan proses belajarnya semasa kuliahnya dulu. Dalam beberapa kesempatan, Ridwan Mukti juga ikut andil dan mengayomi Komunitas Musi Rawas yang pernah dipimpinnya dahulu. Salah satunya dengan cara membantu peremajaan Asrama Komunitas Musi Rawas yang ada di Yogyakarta. Di sisi lain, Ridwan Mukti juga banyak mensosialisasikan keberadaan komunitas ini kepada masyarakat atau pelajar yang hendak mencari ilmu di kota Yogyakarta. Di samping itu sosialisasi ini juga bertujuan untuk masyarakat yang akan berkunjung ke Yogyakarta dan ingin  melihat perkembangan pelajar atau mahasiswa Musi Rawas yang sedang menimba ilmu di Yogyakarta. “Pak Ridwan itu kadang bersosialisasi seputar komunitas ini kepada masyarakat. Ya siapa tau nanti anaknya mau kuliah di Jogja kan bisa tinggal di sini. Biar nanti tambah banyak lah temen saya.” Cerita Libra sambil tersenyum. [hydra-zone]