“Kalau dulu banyak mas yang pake kayak gitu (telinga panjang), kalo sekarang udah jarang. Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa
orang, itu pun mayoritas udah berumur diatas 50 tahun.” Jawab Afif ketika
ditanya tentang salah satu tradisi suku dayak di Kalimantan Timur.
Memanjangkan Telinga, adalah termasuk dalam salah satu kekayaan
budaya atau tradisi yang dimiliki Indonesia dan patut untuk dijaga
kelestariannya. Tradisi ini, banyak dipraktekkan di daerah Kalimantan Timur,
khususnya suku Dayak. Untuk kaum laki-laki, panjang daun telinga adalah sebahu
sedangkan untuk perempuan adalah di atas buah dada.
Proses pemanjangan daun telinga dimulai sejak balita dengan
memberikan anting-anting yang ukurannya menyesuaikan dengan usia balita.
“Biasanya mas, kalo umurnya masih
satu tahun, itu dikasi anting yang kecil dan kalo dianggap sudah cukup untuk diganti dengan anting yang
ukurannya lebih besar, baru diganti.” Afif menjelaskan.
Pemanjangan telinga ini bertujuan untuk menunjukan identitas
diri dari suku Dayak. Bahkan di kalangan tertentu, ada beberapa model anting
yang dipasang untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok lebih tinggi kasta nya
daripada kelompok yang lain.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi memanjangkan
telinga ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak. Karena terpaan
budaya dan modernisasi dari berbagai penjuru. Akibatnya, jika masyarakat suku
Dayak bertemu dengan masyarakat dari suku atau daerah lain, dia (suku Dayak)
merasa risih, karena respon atas kehadirannya tidak sama dengan respon terhadap
suku/warga lain - seakan-akan suku Dayak berbeda dengan yang lain. akibatnya,
timbul tekanan psikologis tersendiri bagi suku Dayak tersebut.
“Kalau di sekitar tempat saya bisa dibilang sudah gak ada
yang kayak gitu lagi, mas. Dulu, anak-anak seumuran saya hampir gak ada yang
dipanjangkan telinganya. Mungkin para orang tuanya takut jika anaknya diolok-olok saat bertemu dengan orang
lain yang beda suku.” Afif menambahkan.
Tradisi memanjangkan telinga bukan satu-satunya tradisi yang
hampir ditinggalkan di Indonesia. Hal ini disebabkan terpaan budaya barat melalui
media yang tidak seimbang sehingga mengakibatkan timbulnya perasaan untuk
meniru budaya-budaya barat itu. Maka, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya
anggapan bahwa budaya dan tradisi kita adalah sesuatu yang sudah kuno dan bukan
jamannya untuk tetap dipertahankan.
Jika sudah begini keadaannya, apa yang akan kita (generasi muda)
lakukan? [hydra-zone]