Pages

Senin, 13 Februari 2017

Hamba



Pura-pura
Pada yang lain bisa diterima
Tidak padaNya

Ilahi memberi
Abdi menerima
Suka dariNya
Duka dariNya
Pura-pura dariku

Pura-pura
Pada yang lain bisa diterima
Tidak padaNya

Yogyakarta, 13 Februari 2017

Kamis, 03 September 2015

Belajar Dari Penjual Es Tape Keliling

Cuaca panas siang hari yang mulai dirasakan sejak beberapa waktu ini ternyata (bisa jadi) merupakan berkah bagi para penjual es tape keliling. Ia akan lebih semangat menjajakan jualannya, lebih sumringah dari biasanya. Walau ia belum tau apakah dengan dukungan alam seperti cuaca siang ini jualannya akan lebih laku dibanding hari-hari biasa.
Penjual es semakin dekat. Senyumnya tampak setelah melihat di depan ada beberapa orang yang sedang berkumpul, saya dan sahabat-sahabat (tak ada orang lain selain kami). Barangkali, dalam hatinya berkata, 'rejeki semakin dekat saat orang-orang mulai terlihat'. Ia terus mengayuh sepedanya sambil melirik ke tempat duduk kami. Saya membalas senyumnya.

Penjual es tape lewat..

Selain saya, tak ada yang membalas senyum si Bapak Penjual es tape. Sahabat saya yang lain tetap asik dengan obrolan yang saya tinggalkan sejenak untuk membalas senyum si Bapak itu.
Senyumnya mulai hilang saat ia mulai sadar bahwa lirikan dan senyum saya hanya sebuah penghormatan dan pesan kepadanya bahwa saya menghargai lirikan dan senyumnya saja, bukan untuk membeli.

Saya nimbrung lagi dengan obrolan sahabat-sahabat. Tapi diam-diam saya masih memikirkan Bapak Penjual es tape. Saya membayangkan betapa mudah sekali untuk mendapat peluang kebahagiaan hanya dengan bertemu dengan orang. Barangkali memang dalam setiap pekerjaan diharuskan bertemu banyak orang. Karena dengan bertemu banyak orang walau tidak langsung memberi kebahagiaan, setidaknya ia mendapat sebuah peluang kebahagiaan, walau hanya dengan senyuman.

Jumat, 06 Maret 2015

Mila, Kita Kencan Lagi

Pukul 20.48 WIB (3 Maret 2015) Saya dan Mila (lagi) keluar dari Terminal Tawang Alun mengarah ke barat, rute yang biasa, Jember - Jogja. 
Seperti biasa, saya menghubungi tiga orang kenek Mila Sejahtera, Pak Agung, Pak Darmaji, dan Pak Hamid. Ternyata Pak Agung libur, mesin Bisnya dalam perbaikan, Pak Darmaji tak merespon, Pak Hamid menjelaskan bahwa hari ini pemberangkatan terakhir jam 21.00 WIB.
Sebelumnya saya berencana naik di Terminal Pakusari karena dekat dari rumah. Tapi, semua Bis Mila yg berangkat hari ini startnya di Twg Alun. Saya membatin, 'pasti sewaktu dari Jogja penumpang yg dibawa tidak seberapa. Sehingga untung yang didapat tidak seberapa pula jika perjalanan dilanjut ke Banyuwangi.' Saya freehatin.

Wuss... Tiba di terminal. Saya yakin masih ada Bis Mila. Harapan awal adalah naik Mila Donadoni. Saya tengok kiri-kanan. Adanya hanya Mila Bledex, adik Mila Predator (iya tah?). 
Jika dalam setiap perjalanan pulang atau balik saya mengejar Donadoni dengan niatan agar menikmati lomba lari dengan Sumber Selamat. Maka dengan Mila yang lain niat saya adalah berbagi rejeki. Daripada saya bagi dengan Bis Akas Asri mending saya bagi ke Mila Sejahtera. Alasannya sederhana, rejeki Bis Mila mulai berkurang karena armada yg ia miliki kalah dengan Akas Asri. Dari interior, jarak masing-masing kursi, AC (Mila hanya satu yang menggunakan AC yaitu Armada Pak Darmaji. Sisanga tidak pakai AC padahal harga sama dengan Mila yg lain Atau Akas Asri). Namun dalam hal kecepatan dan kesantunan supir dalam menyalip saya kira Mila masih juara. :D

Pukul 21.17 WIB lampu Bis Mulai dimatikan. Saya Luthfi. Penumpang Setia Mila Sejahtera. Salam.

#CatatanPerjalanan #bismania

Kencan Malam Jumat Dengan Mila

Awalnya saya sudah malas untuk pulang karena kenek Mila Predator (Pak Agung) dan Mila (Darmaji) yang saya hubungi kemarin sore (25 Februari '15) menyampaikan bahwa tidak ada Mila Sejahtera yg berangkat sampai hari sabtu untuk trayek Jogja - Banyuwangi. Entah kenapa. Saya tak bertanya alasannya.
Semenjak saya di Jogja, rute perjalanan pulang saya selalu sama, Jogja - Mojokerto - Jember. Kadang menggunakan motor, mobil, dan kadang ngebis seperti sekarang ini. Pernah sekali berbeda rute, yaitu Jogja - Surabaya - Jember. Jogja - Surabaya saya lalui bersama Sumber Selamat (Saya lupa plat nomornya. Tapi awalnya pasti 'W'), Surabaya - Jember bersama Restu (Tak ingat sama sekali plat nomornya). Waktu itu saya terburu-buru karena harus pulang ke rumah agar dapat mengikuti prosesi pemakaman Alm. Bapak di keesokan harinya. 
Pukul 18.12 WIB, saya tiba di terminal. Lewat jalur belakang seperti biasa (Hotel TPI). Saya melirik ke kanan, ke deretan Bis Efisiensi yg belum terisi penumpang. Di belakang Bis dua keneknya duduk sambil menghisap rokok masing-masing. Keduanya melirik saya, tapi cuma sebentar, mungkin hanya tiga detik - empat detik. Tak ada pertanyaan atau ajakan kepada saya untuk ikut bis vip itu. Mungkin mereka sudah menebak. Saya yg memakai kaos seorang Tokoh Besar Indonesia, Mahbub Junaidi, dengan dandanan ala kadarnya seperti kebanyakan penerusnya dan tambahan kacamata entah minus atau silinder di atas rambut (seperti bando), tidak mungkin ikut bis sekelas bisnya. Melihat respon mereka, saya pun menatapnya tidak jauh lebih banyak dari mereka, mungkin 4,5 detik. Saya juga cuek. Karena memang tak mungkin menyapa mereka. Menurut bahasa aktivis, belum punya kepentingan politik. Mereka tak seperti Pak Agung, Pak Darmaji, dan Pak Hamid yg baru saja saya minta nomer handphonenya, kenek efisiensi tersebut sok elitis. Seperti anggota DPR yg kedatangan tamu untuk dimintai sumbangan dana. 
Saya lupakan kenek itu, toh kalau pulang kampung saya tidak naik bisnya. Mungkin kalau k purwokerto saja jika diajak jalan-jalan oleh Naufil. 

Saya lanjutkan langkah kaki melewati dua toko yg berhadapan untuk sampai di parkiran atau tempat Bis AKAP menunggu penumpang. Aha... Ternyata Mila Bumel beroperaai hari ini. Gambar ebBIS Saya datangi keneknya kemudian bercerita tentang tidak berangkatnya Pak Agung dan Pak Darmaji. Saya ingin menanyakan lebih dalam (Seperti skripsi saya yg datanya harus mendalam). Tapi saya urungkan. Sepertinya ia tidak ingin berbagi terkait ketidakberangkatan kedua koleganya tersebut. Ya sudah, saya urungkan. Saya tidak bertanya lagi. Saya mencoba tidak meniru beberapa dosen penguji skripsi yg biasa bertanya sampe detail-sedetail-detailnya.

Pukul 18.21 saya pamit dan menyalami gadis yg mengantar saya, Gadis Bulaksumur. Ya seperti biasa, dia senyum dan 15 menit kemudian pasti akan mengirim pesan 'hati-hati'. Saya tidak langsung membalas karena saya sedang menulis catatan ini. Sebentar lagi akan saya balas begini, 'Iya, nanti tak sampein ke pak supir'. Saya akan melanjutkan catatan ini karena belum ada sisi yg menarik. Tapi karena kantuk sudah menyerang. Di situ kadang saya merasa sedih.

Delanggu, 19.37 WIB. with Mila Bumel N 7248 US
*Foto diambil oleh Blacberry Pearl 9105

Catatan #perjalanan #ngebBIS #bismania#Bis #penumpang #setia

Sabtu, 03 November 2012

Lestarikan “Telingaku”!


“Kalau dulu banyak mas yang pake kayak gitu (telinga panjang), kalo sekarang udah jarang. Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa orang, itu pun mayoritas udah berumur diatas 50 tahun.” Jawab Afif ketika ditanya tentang salah satu tradisi suku dayak di Kalimantan Timur.
Memanjangkan Telinga, adalah termasuk dalam salah satu kekayaan budaya atau tradisi yang dimiliki Indonesia dan patut untuk dijaga kelestariannya. Tradisi ini, banyak dipraktekkan di daerah Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak. Untuk kaum laki-laki, panjang daun telinga adalah sebahu sedangkan untuk perempuan adalah di atas buah dada.
Proses pemanjangan daun telinga dimulai sejak balita dengan memberikan anting-anting yang ukurannya menyesuaikan dengan usia balita. “Biasanya mas, kalo umurnya masih satu tahun, itu dikasi anting yang kecil dan kalo dianggap sudah cukup untuk diganti dengan anting yang ukurannya lebih besar, baru diganti.” Afif menjelaskan.
Pemanjangan telinga ini bertujuan untuk menunjukan identitas diri dari suku Dayak. Bahkan di kalangan tertentu, ada beberapa model anting yang dipasang untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok lebih tinggi kasta nya daripada kelompok yang lain.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi memanjangkan telinga ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak. Karena terpaan budaya dan modernisasi dari berbagai penjuru. Akibatnya, jika masyarakat suku Dayak bertemu dengan masyarakat dari suku atau daerah lain, dia (suku Dayak) merasa risih, karena respon atas kehadirannya tidak sama dengan respon terhadap suku/warga lain - seakan-akan suku Dayak berbeda dengan yang lain. akibatnya, timbul tekanan psikologis tersendiri bagi suku Dayak tersebut.
“Kalau di sekitar tempat saya bisa dibilang sudah gak ada yang kayak gitu lagi, mas. Dulu, anak-anak seumuran saya hampir gak ada yang dipanjangkan telinganya. Mungkin para orang tuanya takut jika anaknya diolok-olok saat bertemu dengan orang lain yang beda suku.” Afif menambahkan.
Tradisi memanjangkan telinga bukan satu-satunya tradisi yang hampir ditinggalkan di Indonesia. Hal ini disebabkan terpaan budaya barat melalui media yang tidak seimbang sehingga mengakibatkan timbulnya perasaan untuk meniru budaya-budaya barat itu. Maka, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya anggapan bahwa budaya dan tradisi kita adalah sesuatu yang sudah kuno dan bukan jamannya untuk tetap dipertahankan.
Jika sudah begini keadaannya, apa yang akan kita (generasi muda) lakukan? [hydra-zone]

Per-Empu-an Minang

Memotret kesukuan di Indonesia, tak lengkap rasanya tanpa melirik adat Minang. Tak seperti kebanyakan suku di daerah lainnya, Minang memiliki adat yang cukup unik. Jika di daerah lain trah laki-laki begitu gagah dan menempati posisi tinggi dalam sistem kekeluargaan, di Minang, tidak. Sebaliknya, garis keturunan perempuanlah yang dianggap “emas”. Kita tak perlu jauh-jauh kembali ke zaman prasejarah untuk menemukan tradisi matrilineal, karena hingga hari ini, di Minang tradisi Matrilinealisme masih berlangsung elok.
Alam, seorang mahasiswa jurusan Hukum Universitas Gadjah Mada, asal Suku Tanjung mengatakan bahwa tradisi Matrilineal sudah ada sejak zaman dahulu, sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Menurutnya, tradisi matrilineal dimaksudkan untuk menjaga harta atau warisan yang sudah diturunkan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun agar mampu dijaga dengan baik dan tidak beralih ke tangan orang lain yang tidak berasal dari keluarga keturunannya(baca: keturunan nenek moyang). Dalam hal ini, perempuanlah yang dianggap mampu menjaga warisan tersebut.
Alam mencontohkan dirinya, dalam keluarganya yang berkecukupan, Alam (dalam berperilaku dan bergaul ) tidak begitu menampakkan bahwa dirinya adalah orang yang berkecukupan. Alam tidak begitu menggantungkan hidupnya kepada harta yang dimiliki keluarganya di rumah. Karena Alam paham, bahwa harta yang dimiliki oleh keluarganya di rumah, nantinya akan dikelola oleh adik perempuan Alam. Dan Alam tidak akan “mengusik” harta itu. Tindakan Alam ini, bukan karena tradisi matrilineal saja, melainkan karena di Suku Minang, Seorang laki-laki akan lebih “berharga dan berwibawa” jika dia telah merantau (Melanjutkan pendidikan, berdagang dll). Dalam arti lainnya, “kewibawaan” seseorang tidak akan diukur dari seberapa banyak harta yang dimilikinya, apa pekerjaannya, atau apa jabatannya. Melainkan, seberapa tinggikah ilmunya dan seberapa luaskah pengalamannya. 

Tradisi matrilineal, hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat minang. Meskipun mayoritas pemuda-pemudinya banyak yang sudah merantau dan banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru, mereka (baca: pemuda-pemudi) belum punya niatan untuk merubah tradisi matrilineal tersebut. Karena selama ini mereka masih yakin bahwa memang perempuanlah yang mampu menjaga warisan dan pesan nenek moyang tersebut. [hydra-zone]

Beliau Tidak Seperti Kacang yang Lupa Sama Kulitnya

Menjadi seorang bupati adalah suatu profesi yang banyak diminati dan menjanjikan di “mata” kita. Di sisi lain, profesi Bupati ini, di kalangan masyarakat tertentu – terutama masyarakat desa - dianggap sebagai sebuah pencapaian yang lumayan baik. Lain halnya dengan Bupati Kabupaten Musi Rawas, yang juga Alumni Universitas Islam Indonesia dan alumni Asrama Komunitas Musi Rawas yang saat ini dipercayai untuk menjadi Bupati di kabupaten Musi Rawas, tidak menjadikan jabatan yang sudah diraihnya sebagai sebuah pencapaian yang nantinya akan mengangkat namanya di mata masyarakat.
Ridwan Mukti, pria kelahiran Lubuklinggau 21 Mei 1963 ini adalah mantan anggota DPR RI (Dua periode) dan Fungsionaris partai Golkar ini adalah sosok yang selama ini dijadikan contoh oleh sahabat-sahabat anggota Komunitas Musi Rawas di Yogyakarta.
“Selama beberapa tahun terakhir kita selalu menjadikan Beliau sebagai panutan dalam berorganisasi. Beliau tidak seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Karena menurut saya diantara kelebihan-kelebihannya adalah dia berani kembali ke daerah saya (Musi Rawas) meskipun sebenarnya dia sudah sejahtera di Jakarta.” Ujar Libra selaku Ketua Asrama Komunitas Musi Rawas, saat ditemui di Jl. Tamansiswa No. 868.
Sebelumnya, Ridwan Mukti menjadi Anggota DPR RI selama dua periode kemudian menjabat Bupati di Musi Rawas selama dua periode pula, periode pertama 2005-2010 dan periode kedua 2010-2015.
Ridwan Mukti, tidak hanya terjun ke daerahnya dan melupakan proses belajarnya semasa kuliahnya dulu. Dalam beberapa kesempatan, Ridwan Mukti juga ikut andil dan mengayomi Komunitas Musi Rawas yang pernah dipimpinnya dahulu. Salah satunya dengan cara membantu peremajaan Asrama Komunitas Musi Rawas yang ada di Yogyakarta. Di sisi lain, Ridwan Mukti juga banyak mensosialisasikan keberadaan komunitas ini kepada masyarakat atau pelajar yang hendak mencari ilmu di kota Yogyakarta. Di samping itu sosialisasi ini juga bertujuan untuk masyarakat yang akan berkunjung ke Yogyakarta dan ingin  melihat perkembangan pelajar atau mahasiswa Musi Rawas yang sedang menimba ilmu di Yogyakarta. “Pak Ridwan itu kadang bersosialisasi seputar komunitas ini kepada masyarakat. Ya siapa tau nanti anaknya mau kuliah di Jogja kan bisa tinggal di sini. Biar nanti tambah banyak lah temen saya.” Cerita Libra sambil tersenyum. [hydra-zone]